Oleh : La Ode Angse, guru pada MIN 1 Ambon
“Terpujilah wahai engkau, ibu bapak guru
Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku
Semua baktimu akan ku ukir di dalam hatiku
Sebagai prasasti trima kasihku tuk pengabdianmu
Engkau sebagai pelita dalam kegelapan
Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan
Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan
Engkau patriot pahlawan bangsa
Tanpa tanda jasa”
Bila
kita menyimak satu persatu syair lagu hymne guru seperti tersaji diatas
tentunya judul seperti diatas mungkin akan terjawab dengan sendirinya. Ya, tentunya betapa mulianya profesi guru. Namun bila kita memperhatikan kondisi terkini
dari perjalanan pendidikan di Indonesia tentunya tak salah bila judul diatas
perlu dibahas tuntas.
Pertanyaan
menggelitik yang dijadikan judul dari tulisan ini coba saya angkat bukan karena
tanpa alasan. Tentunya dengan memperhatikan kondisi kekinian dari profesi guru
itu sendiri.
Guru
yang selama ini dianggap profesi mulia oleh banyak orang justru dirusak oleh
oknum-oknum guru itu sendiri. Tulisan
ini tidaklah bermaksud ingin mendiskreditkan posisi guru sebagai “pesakitan”
yang harus didakwa dengan berbagai macam ancaman hukuman. Tidak juga bermaksud untuk mencari-cari
kesalahan orang per orang. Tetapi semata-mata bermaksud untuk mencari solusi
terhadap permasalahan profesi guru yang maaf telah berubah menjadi profesi
“bisnis”. Profesi yang lebih
mementingkan untung rugi dari sebuah pekerjaan.
Profesi yang tidak lagi didasari dengan moral tetapi telah diracuni
dengan syahwat dan nafsu ingin berkuasa dan menguasai yang lain.
Guru dan permasalahannya.
Sadar
atau tidak dengan keluarnya Undang-undang nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan
Dosen, profesi guru telah disejajarkan dengan dokter, advokat, jaksa, hakim,
notaris dan lainnya yang memiliki legalitas hukum. Karena telah memiliki legalitas hukum tentunya
keberadaan guru telah diakui oleh pemerintah sebagai profesi yang layak dan
perlu dihargai.
Hal
ini pula yang kemudian melahirkan apa yang namanya “Tunjangan Profesional Guru”
yang menjadi sumber “permasalahan” yang tidak habis-habisnya menjadi konsumsi
media massa.
Sebelum
jauh membahas tentang permasalahan guru pasca lahirnya Undang-undang guru dan
dosen. Ada baiknya kita melakukan “flashback” untuk melihat seperti apa profesi
guru sebelum lahirnya UU nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Profesi
guru sebelum lahirnya Undang-undang Guru dan Dosen sangatlah
memprihatinkan. Betapa tidak oleh
sebagian orang guru hanyalah dianggap sebagai pekerjaan “pelengkap”
penderita. Hal ini mungkin dikarenakan
karena sebagian besar guru-guru pada saat itu hidupnya jauh dari kesan “berada”. Guru selalu diidentikan dengan orang yang
“menderita” baik secara fisik maupun psikis.
Profesi
guru saat itu tidaklah diminati oleh kawula muda. Tentu saja di samping
penghasilannya yang minim. Guru saat itu tidaklah segagah tentara atau polisi,
bahkan tidak sehebat dokter ataupun insinyur.
Sehingga anak-anak ketika ditanyakan cita-citanya saat itu tentunya tak
ada yang bersedia menjadi guru.
Kebanyakan bercita-cita ingin menjadi tentara, polisi, jaksa, dokter,
pilot dan lain sebagainya. Andaikan ada
yang bercita-cita menjad guru itu hanyalah satu diantara seratus.
Sehingga
tak jarang saat itu satu sekolah hanya ada satu guru yang merangkap sebagai
guru dan sekaligus kepala sekolahnya.
Sekolah dipenuhi dengan tenaga-tenaga honorer dengan latar belakang
pendidikan yang tidak sesuai dengan profesi guru. Pendidikan yang pas-pasan
sehingga penghasilnnya juga pas-pasan asalkan dapat menyambung hidup. Sungguh miris, melihat sosok guru saat itu. Namun ada hal yang tak dapat disepelekan dari
“mereka” kemauan dan niat suci “mereka” untuk mengabdikan dirinya, mencerdaskan
kehidupan bangsa saat itu patut diacungi jempol. Sikap kharismatik selalu tertanam dalam diri
mereka. Dan yang terpenting dari semua
itu walaupun hidup dalam kondisi yang serba pas-pasan tak ada yang sampai
“meminta-minta” bahkan menjadi “pengemis”.
Sosok guru sebagai sosok yang dimuliakan senantiasa dijaga dan
dipelihara dengan baik.
Lalu
bagaimana dengan kondisi terkini dari profesi guru yang mulia tersebut? Inilah
yang menjadi titik pembahasan kita.
Profesi
guru pasca lahirnya Undang-undang Nomor 14 tahun 2005 menjadi lahan yang
diperebutkan oleh banyak pihak. Tentunya
karena di samping dijamin oleh Undang-undang, apalagi kalau bukan masalah
penghasilan. Ya, tentu saja inilah yang
menjadi incaran banyak pihak. Dengan dibolehkannya lulusan sarjana di luar
sarjana pendidikan untuk menjadi guru.
Tentunya akan menambah persoalan pelik di dunia pendidikan itu sendiri.
Tidak
bermaksud untuk “mengecilkan” dan “mengucilkan” sarjana non pendidikan tetapi
profesi guru bukanlah hanya sekedar mentransfer ilmu dari guru kepada
siswa. Profesi guru adalah lebih dari
itu menjadi tenaga pengajar dan pendidik yang bertugas membimbing, mengarahkan,
memfasilitasi, memotivasi, mengajarkan dan mendidik siswa akan ilmu serta
hal-hal yang baik dan berguna. Bukan hanya bagi mereka, tetapi baik dan berguna
bagi masyarakat, agama, bangsa dan negara ini kelak. Inilah tugas suci yang harus diemban oleh
seorang guru.
Kemudian
permasalahan lain yang muncul pasca lahirnya Undang-undang nomor 14 tahun 2005
itu adalah semakin banyaknya tenaga honorer yang mengabdi pada sekolah-sekolah
yang tadinya kosong. Secara kasat mata
mungkin kita melihat ini sebuah langkah maju bagi pendidikan di tanah air
tercinta ini. Namun di balik itu semua
tersimpan suatu “malapetaka” bagi dunia pendidikan itu sendiri. Bukan tidak
mungkin berbondong-bondongnya orang yang bersedia menjadi guru dikarenakan
gerbong inilah yang selalu terbuka untuk mengakomodir para pencari kerja untuk
menjadi PNS. Alhasil, daftar panjang
honorer kategori 1 dan kategori 2 yang dikeluarkan oleh Badan Administrasi
Kepegawaian Negara dipenuhi dengan tenaga guru honorer. Semakin bertambah
panjang penyelesaian masalah di negeri ini.
Ada
lagi nih yang tak kalah serunya dari lahirnya Undang-undang Guru dan
Dosen. Karena keran untuk menjadi guru
terbuka lebar maka setiap orang yang hendak menjadi guru dengan tujuannya
masing-masing. Ini pula yang menjadi
salah satu permasalahan terkini.
Percaya
atau tidak, banyak guru yang bekerja hanya untuk memenuhi kewajibannya. Itupun dengan asal-asalan, yang penting sudah
mengajar setelah itu apa yang terjadi terjadilah.... Meminjam kata pak ustad
“Mengajar hanya untuk menggugurkan kewajiban.”
Persoalan siswa biarlah meraka hidup dengan dunia mereka dan aku dengan
duniaku.”
Pemikiran-pemikiran
seperti inilah yang selalu bermain-main di kebanyakan kepala guru-guru
kita. Sehingga sikap “malas” kerap
menjangkiti perasaan mereka. Malas untuk
berinovasi, malas untuk melakukan kreasi bahkan malas untuk menambah
pengetahuan dan mengasah kemampuan mereka.
Pada akhirnya terseret oleh zaman yang semakin mengglobal. Mungkin ini pula salah satu faktor yang
membuat kebanyakan guru menentang Uji Kompetensi Guru (UKG) tahun lalu. Sungguh
lucu, seorang guru yang biasanya menguji kemampuan siswa tak mau diuji
kemampuannya.
Sosok guru sebagai panutan dan teladan.
Suka
atau tidak, inilah jalan yang harus ditempuh. Tinggal memilih meneruskan atau
kembali. Meneruskan berarti bersedia
mengambil resiko dari sebuah keputusan dan andaikan ada yang berbalik arah itu
juga bagian dari keputusan yang harus dipertanggung jawabkan.
Jelasnya
tak ada kata terlambat untuk memperbaiki diri.
Menjadi sosok panutan dan teladan adalah tujuan awal kita terjun menjadi seorang guru. Andaikan ada
motivasi lain tolong singkirkan dan jauhi dia karena guru adalah tugas dan
profesi mulia.
Kita
mungkin mengenal sosok guru “Oemar Bakri” tokoh khayalan yang diperkenalkan
sang legenda Iwan Fals. Tokoh yang
mewakili jutaan guru di Indonesia yang “jujur dan berbakti” demi negeri
tercinta ini, namun selalu bernasib malang.
Kita
masih punya relawan-relawan yang mengajar di daerah 3T (Terluar, Terdepan dan Terkebelakang)
yang rela berpisah dengan keluarga demi tekad mengabdi untuk cerdasnya
anak-anak Indonesia dari Sabang sampai Merauke tak terkecuali.
Dan
bagi uztad dan uztadzah kita masih punya tokoh panutan Rasulullah SAW yang
merupakan salah satu mahaguru bagi seluruh umat manusia. Karena telah berhasil membawa manusia dari
zaman jahiliyah ke masa yang terang benderang.
Sekali
lagi tak ada kata terlambat untuk berbuat dan menghasilkan sesuatu yang berguna
bagi masa depan bangsa ini kelak. Karena
di tangan gurulah nasib bangsa ini dipertaruhkan. Maka jadilah yang terbaik untuk diri kita,
masyarakat, agama, bangsa dan negara tercinta ini.
Semoga
tulisan ini dapat menggugah semangat kita sebagai guru untuk selalu berbuat
yang terbaik.
Selamat
merayakan Hari Pendidikan Nasional semoga bangsa ini semakin cerdas di masa
yang akan datang.
Sumber : http://putrawanchi71.blogspot.com
No comments:
Post a Comment